Post

Tentang Sampainya Pahala Kebaikan Yg di Hadiahkan Untuk Mayit..!!


Foto Fasbir Sabran Jamila.Sebagaimana sudah kita ketahui banyak sekali postingan dari orang-orang wahaby di indonesia ini yg menggunakan ayat Al-qur'an surah An-Najm ayat 39 ini sebagai dalil untuk melarang atau membid'ahkan sesat Tahlilan (menghadiahkan pahala kebaikan untuk mayit seperti (membaca Al-qur'an, dzikir, do'a dan sedekah-2 yg lainnya)... mereka beranggapan bahwa apa saja yg kita hadiahkan untuk mayit tidak sampai berdasarkan pada ayat tersebut...!!!
Benarkah demikian..??

mari kita sama-sama kaji dan tafsir dan penjelasannya:
Firman Allah Ta’alaa :
وَأَن لَّيْسَ لِلإِنسَانِ إِلاَّ مَا سعى
“dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya,” (QS. an-Najm : 39)
yakni perbuatan, sebagaimana firman Allah Ta’alaa :
إِنَّ سَعْيَكُمْ لشتى
“sesungguhnya usaha kalian berbeda-beda,” (QS. al-Lail : 4)
Dan ini juga terdapat dalam shuhuf Nabi Ibrahim ‘alayhis salaam dan Nabi Musa ‘alayhis salaam.
Ibnu ‘Abbas berkata : ayat ini hukumnya mansukh (terhapus) didalam syariat ini, dengan firman Allah
وَالَّذِينَ آمَنُوا وَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُمْ بِإِيمَانٍ أَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَمَا أَلَتْنَاهُمْ مِنْ عَمَلِهِمْ مِنْ شَيْءٍ كُلُّ امْرِئٍ بِمَا كَسَبَ رَهِينٌ
“Dan orang-oranng yang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka (QS. ath-Thuur 52 : 21)”.
Maka dimasukkanlah anak-anak kedalam surga kerena keshalihan (kebaikan) ayah-ayah mereka.
'Ikrimah berkata ; “Itu hanya untuk kaum Nabi Ibrahim ‘alayhis salam dan Nabi Musa ‘alayhis salam, adapun umat ini (kaum Muslimin) maka bagi mereka apa yang mereka usahakan dan apa yang diusahakan untuk mereka oleh orang lain”, berdasarkan riwayat,
لما روي أن امرأة رفعت صبيا لها فقالت: يا رسول الله ألهذا حج؟ قال: نعم ولك أجر
“telah diriwayatkan bahwa seorang wanita mengangkat seorang anak kecil, kemudian berkata : wahai Rasulullah, apakah ini boleh berhaji ? Rasul menjawab : iya, dan bagimu ada pahala”.
وقال رجل للنبي - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: إن أمّي قَتَلَتْ نفسها فهل لها أجر إن تصدّقت عنها؟ قال: نعم
“seorang laki-laki berkata kepada Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam : sesungguhnya ibuku telah wafat, maka apakah ada pahala baginya jika aku bershadaqah untuknya ? Nabi menjawab : iya”.
Rabi’ bin Anas berkata ;
وَأَن لَّيْسَ لِلإِنسَانِ إِلاَّ مَا سعى
“dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya,” (QS. an-Najm : 39)
yakni orang kafir, adapun orang mukmin maka baginya apa yang diusahakan dan apa yang diusahakan orang lain untuknya. dikatakan, tidak ada kebaikan bagi orang kafir kecuali apa yang ia kerjakan, maka ada balasan baginya didunia namun kebaikan itu tidak kekal baginya diakhirat.
lihat: Ma'alimut Tanzil fiy Tafsiril Qur'an karya al-Imam Muhyis Sunnah Abu Muhammad al-Husain bin Mas'ud al-Baghawiy asy-Syafi'i (w. 510 H).
===========================
Penjelasan Surah An-Najm ayat 39 menurut Ibnu Taimiyah:
Ibnu Taimiyah Ditanya Tentang QS. an-Najm 39 dan Hadits Terputusnya Amal (Inqatha'a Amaluhu)
سئل: عن قوله تعالى: {وأن ليس للإنسان إلا ما سعى} وقوله - صلى الله عليه وسلم -: «إذا مات ابن آدم انقطع عمله إلا من ثلاث صدقة جارية، أو علم ينتفع به، أو ولد صالح يدعو له» فهل يقتضي ذلك إذا مات لا يصل إليه شيء من أفعال البر؟
Ibnu Taimiyah di tanya tentang firman Allah {tiada bagi manusia kecuali apa yang diusahakan} dan sabda Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam {apabila anak adam wafat maka terputuslah amalanya kecuali 3 hal yakni shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat untuknya dan anak shalih yang berdo’a untuknya}, apakah hal itu menunjukkan apabila seseorang wafat tidak perbuatan-perbuatan kebajikan tidak sampai kepadanya ?
الجواب: الحمد لله رب العالمين. ليس في الآية، ولا في الحديث أن الميت لا ينتفع بدعاء الخلق له، وبما يعمل عنه من البر بل أئمة الإسلام متفقون على انتفاع الميت بذلك، وهذا مما يعلم بالاضطرار من دين الإسلام، وقد دل عليه الكتاب والسنة والإجماع، فمن خالف ذلك كان من أهل البدع
Jawab ; al-Hamdulillahi Rabbil ‘Alamiin, tiada didalam ayat dan tidak pula didalam hadits bahwa mayyit (orang mati) tidak mendapat manfaat dengan do’a untuknya dan dengan apa yang amalkan (kerjakan) untuknya seperti kebajikan bahkan para Imam telah sepakat bahwa mayyit (orang mati) mendapatkan manfaat atas hal itu, dan ini diketahui dengan jelas dari agama Islam, dan sungguh al-Kitab (al-Qur’an), as-Sunnah dan Ijma’ telah menunjukkannya, oleh karena itu barangsiapa yang menyelisihi hal itu maka ia termasuk dari ahli bid’ah.
Karena panjangnya bahasan inii (ulasan Ibnu Taimiyah) yang intinya baik ibadah maliyah dan badaniyah bisa sampai kepada mayyit dan memberikan manfaat bagi orang mati, telah tersebar pembahasan ini dalam kitab-kitab beliau, maka kami singkatkan (cukupkan) untuk menyoroti hadits Inqatha'a Amaluhu menurut Ibnu Taimiyah [3/31] :
أما الحديث فإنه قال: «انقطع عمله إلا من ثلاث: صدقة جارية أو علم ينتفع به، أو ولد صالح يدعو له» فذكر الولد، ودعاؤه له خاصين؛ لأن الولد من كسبه، كما قال: {ما أغنى عنه ماله وما كسب} [المسد: 2] . قالوا: إنه ولده. وكما قال النبي - صلى الله عليه وسلم -: «إن أطيب ما أكل الرجل من كسبه، وإن ولده من كسبه» . فلما كان هو الساعي في وجود الولد كان عمله من كسبه، بخلاف الأخ، والعم والأب، ونحوهم. فإنه ينتفع أيضا بدعائهم، بل بدعاء الأجانب، لكن ليس ذلك من عمله
mengenai hadits bahwa Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam bersabda :
"apabila seorang manusia mati maka terputus darinya amalnya (perbuatanya) kecuali yang berasal dari tiga hal yakni : shadaqah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan dan anak shalih yang berdo’a untuknya",
disini menyebutkan walad (anak) dan do'anya kepadanya secara khusus karena sungguh seorang anak termasuk dari usahanya, sebagaimana firman Allah Ta'alaa :
"Tidaklah berfaedah kepadanya harta bendanya dan apa yang ia usahakan” (QS. Al-Lahaab : 2)
Ulama telah berkata : sesungguhnya yang dimaksud itu anaknya, dan sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam :
"Sungguh sebaik-baiknya apa yang dimakan oleh seseorang adalah yang berasal dari usahanya dan sungguh anaknya bagian dari usahanya"
Maka ia sebagai orang yang berusaha (sa’i) didalam hal wujudnya seorang anak maka amalnya (amal anaknya) termasuk dari kasabnya (usahanya), berbeda halnya dengan saudara, paman, ayah dan seumpama mereka. Namun, mereka itu bisa memberikan manfaat juga dengan do’a mereka bahkan juga do’a yang lainnya, akan tetapi yang demikian itu bukan dari amalnya.
والنبي - صلى الله عليه وسلم - قال: «انقطع عمله إلا من ثلاث» لم يقل: إنه لم ينتفع بعمل غيره. فإذا دعا له ولده كان هذا من عمله الذي لم ينقطع، وإذا دعا له غيره لم يكن من عمله، لكنه ينتفع به
dan Nabi shallallahu 'alayhi wa sallam bersabda :
"terputus amalnya kecuali 3 hal"
namun tidak dikatakan : sesunggguhnya tidak mendapat manfaat dari amal orang lain. maka ketika anaknya berdo'a untuknya, itu menjadi bagian dari amalnya yang tidak terputus,sedangkan apabila orang lain yang berdo'a untuknya, maka itu tidak menjadi bagian dari amalnya, akan tetapi bisa mendapatkan manfaat dengan hal tersebut. []
Sumber : al-Fatawa al-Kubraa [3/27] karya Ibnu Taimiyah.
===========================
Penjelasan Surah An-Najm ayat 39 menurut Al-Utsaimin:
terkait ayat tersebut pernah di ajukan kepada Syaikh ‘Utsaimin dan beliau menjelaskannya sebagai berikut :
وسئل فضيلة الشيخ: هل قوله تعالى: {وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَى} يدل على أن الثواب لا يصل إلى الميت إذا أهدي له؟
Fadlilatusy Syaikh ditanya : apakah firman Allah {wa an laysa lil-insaani ilaa maa sa’aa} menunjukkan atas bahwa pahala tidak sampai kepada mayyit apabila di hadiahkan untuknya ?
فأجاب بقوله: قوله - تعالى-: {وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَى} المراد -والله أعلم- أن الإنسان لا يستحق من سعي غيره شيئًا، كما لا يحمل من وزر غيره شيئًا، وليس المراد أنه لا يصل إليه ثواب سعي غيره؛ لكثرة النصوص الواردة في وصول ثواب سعي الغير إلى غيره وانتفاعه به إذا قصده به، فمن ذلك: الدعاء:فإن المدعو له ينتفع به بنص القرآن الكريم والسنة، وإجماع المسلمين، ... الصدقة عن الميت، ...، الصيام عن الميت ...، الحج عن غيره ...، الأضحية عن الغير ...، اقتصاص المظلوم من الظالم بالأخذ من صالح أعماله ...، انتفاعات أخرى بأعمال الغير: كرفع درجات الذرية في الجنة إلى درجات آبائهم، وزيادة أجر الجماعة بكثرة العدد، وصحة صلاة المنفرد بمصافة غيره له، والأمن والنصر بوجود أهل الفضل،
Jawab : tentang firman Allah { wa an laysa lil-insaani ilaa maa sa’aa } maksudnya –wallahu a’lam- bahwa manusia tidak berhak terhadap usaha orang lain, sebagaimana seseorang tidak memikul sesuatu tanggungan orang lain, namun maksudnya bukanlah bahwa pahala usaha orang lain tidak sampai kepadanya, sebab banyak nas-nas yang warid tentang sampainya pahala usaha orang lain kepada orang lain dan memberi manfaat dengan hal itu apabila di qashadkan (ditujukan) untuknya. Diantaranya adalah do’a, maka sesungguhnya orang yang berdo’a untuknya memberikan manfaat berdasarkan nas al-Qur’an al-Kariim, as-Sunna dan Ijma’ Muslimin .., shadaqah atas nama mayyit.., puasa untuk mayyit.., haji dari amal orang lain.., dan lain sebagainya.”
Sumber ; Majmu’ Fatawa wa Rasaa’il Fadlilatusy Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah [2/311-318]
===========================
Fatwa Shalih Fauzan al-Fauzan Tentang QS. An-Najm Ayat 39
Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah al-Fauzan merupakan seorang ulama yang dianggap beraliran wahhabiyah, lahir pada tahun 1933 M. Terkait surah an-Najm ayat 39, pernah juga ditanyakan kepada beliau, juga terkait dengan QS. ath-Thuur ayat 21. Berikut jawaban beliau :
سؤال: ما معنى الآيتين الكريمتين في قوله تعالى: {وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَى، وقوله: {وَالَّذِينَ آمَنُوا وَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُمْ بِإِيمَانٍ أَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَمَا أَلَتْنَاهُمْ مِنْ عَمَلِهِمْ مِنْ شَيْءٍ} ، وهل بينهما نسخ أو تعارض؟ وماذا نستفيد منهما؟
Soal : apa makna dua ayat pada firman Allah {wa an laysa lil-insaani illaa ma sa’aa} dan {walladziina amanuu wat-taba’athum dzurriyyatuhum bi-imaanin bihim dzurriyyatahum wa maa alatnaahum min ‘amalihim min syay’}, apakah antara keduanya telah di nasakh ataukah bertentangan ? dan apa penjelasan tentang keduanya ?
الجواب: بين الآيتين إشكال، ذلك أن الآية الأولى فيها: أن الإنسان لا يملك إلا سعيه ولا يملك سعي غيره {وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَى} ، فملكيته محصورة بسعيه، ولا ينفعه إلا سعيه، بينما الآية الأخرى فيها أن الذرية إذا آمنت فإنها تلحق بآبائها في الجنة وتكون معهم في درجتهم وإن لم تكن عملت عملهم، فالذرية إذا استفادت من عمل غيرها، قال تعالى: {وَالَّذِينَ آمَنُوا وَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُمْ بِإِيمَانٍ أَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَمَا أَلَتْنَاهُمْ مِنْ عَمَلِهِمْ مِنْ شَيْءٍ} ، فالآية الكريمة تدل على أن الذرية يلحقون بآبائهم في درجاتهم ويرفعون معهم في درجاتهم وإن لم يكن عملهم كعمل آبائهم، فظاهر الآية أنهم انتفعوا بعمل غيرهم وسعي غيرهم، بينما الآية الأخرى أن الإنسان لا ينفعه إلا سعيه
Jawab : Antara dua ayat terdapat isykal (pertentangan), hal itu karena ayat pertama mengandung pengertian bahwa manusia tidak memiliki kecuali usahanya dan tidak memiliki usaha orang lain { dan tiada ada bagi manusia kecuali apa yang diusahakan} maka kepemilikannya hanya sebatas dengan usahanya sendiri dan tidak mendapat manfaat kecuali usahanya, sementara ayat lainnya tentang keturunan apabila beriman maka terhubung dengan ayah-ayah mereka didalam surga dan bersama mereka didalam hal kedudukan mereka, meskipun mereka tidak mengamalkan amal mereka, keturunan (cucu-cucu) mendapat manfaat (faidah) dari amal orang lain , Allah berfirman { Dan orang-oranng yang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka , dan Kami tiada mengurangi sedikitpun dari pahala amal mereka } maka ayat yang mulya ini menunjukkan bahwa cucu-cucu tetap dihubungankan dengan ayah-ayah mereka didalam hal kedudukan mereka dan kedudukan mereka di angkat walaupun amal mereka tidak seperti amal ayah-ayah mereka, maka maksud dhahir ayat adalah bahwa mereka mendapatkan manfaat dengan amal (perbuatan) selain mereka dan usaha orang lain, sedangkan ayat yang lain adlah bahwa manusia tidak bisa mendapat manfaat kecuali usahanya.
وقد أجاب العلماء عن هذا بعدة أجوبة: الجواب الأول: أن الآية الأولى {وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَى} مطلقة والآية الثانية {أَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ} مقيدة. والمطلق يحمل على المقيد كما هو مقرر في علم الأصول. والجواب الثاني: أن الآية الأولى تخبر أن الإنسان لا يملك إلا سعيه، ولا ينفعه إلا سعيه، ولكنها لم تنف أن الإنسان ينتفع بعمل غيره، من غير تملك له، فالآية الأولى في الملكية، والثانية في الانتفاع، أن الإنسان قد ينتفع بعمل غيره وإن لم يكن ملكه، ولهذا ينفعه إذا تصدق عنه، وينفعه إذا استغفر له، ودعي له، فالإنسان يستفيد من دعاء غيره، ومن عمل غيره، وهو ميت. والانتفاع غير الملكية، فالآية الأولى في نوع، والآية الثانية في نوع آخر، ولا تعارض بينهما. هذا الجواب أحسن من الأول في نظري، فهذا الجواب هو الراجح في نظري.
Dan sungguh ulama telah menjawab tentang hal ini dengan sejumlah jawaban :
Pertama, bahwa ayat pertama { wa an laysa lil-insaani illaa ma sa’aa } adalah mutlak, dan ayat kedua {alhaqnaa bihim dzurriyyatahum} adalah muqayyad. Dan yang mutlak dibawa ke yang muqayyad sebagaimana ditetapkan dalam ilmu ushul.
Kedua, bahwa ayat pertama mengkhabarkan tentang manusia tidak memiliki kecuali usahanya sendiri, dan tidak mendapat manfaat kecuali usahanya sendiri, akan tetapi tidak menafikan bahwa manusia mendapat manfaat dari amal (usaha/perbuatan) orang lain dan dari milik orang lain untuknya, maka ayat pertama adalah tentang milkiyah (kepemilikan), dan ayat kedua tentang intafa’ (kemanfaatan), bahwa manusia sungguh mendapatkan manfaat dengan amal orang lain walaupun tiada miliknya, oleh karena inilah seseorang mendapatkan manfaat apabila menshadaqahkan untuknya, dan mendapatkan manfaat apabila di mohonkan ampun untuknya, dan berdo’a untuknya. Maka manusia mendapatkan faidah dari do’a orang lain dan dari amal orang lain, maksudnya mayyit bisa mendapat manfaat.
Dan manfaat bukan kepemilikan. Ayat pertama adalah satu hal, dan ayat kedua adalah satu hal yang lain, keduanya tidak bertentangan, jawaban inilah yang lebih bagus dari yang pertama menurut tinjauanku, jawaban ini juga adalah rajih (kuat) menurut tinjauanku.
وهناك جواب آخر: هو أن الآية الأولى {وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَى} منسوخة؛ لأنها في شرع من قبلنا لأن الله تعالى يقول: {أَمْ لَمْ يُنَبَّأْ بِمَا فِي صُحُفِ مُوسَى وَإِبْرَاهِيمَ الَّذِي وَفَّى أَلَّا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَى} ، فهذه تحكي ما كان في صحف موسى وصحف إبراهيم عليهما السلام، لكن جاءت شريعتنا بأن الإنسان ينتفع بعمل غيره، فيكون ذلك نسخًا، ولكن هذا الجواب ضعيف، والجواب الذي قبله أرجح في نظري، والله أعلم.
Dan disana juga ada jawaban lainnya, yakni bahwa ayat pertama { wa an laysa lil-insaani illaa ma sa’aa } mansukh, karena sesungguhnya itu pada syariat umat sebelum kita (syar’u man qablanaa), sebab Allah berfirman : “Ataukah belum diberitakan kepadanya apa yang ada dalam lembaran-lembaran Musa ? , dan lembaran-lembaran Ibrahim yang selalu menyempurnakan janji? , (yaitu) bahwasanya seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain, dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya,” maka ini mengisahkan apa yang ada pada shuhuf Nabi Musa ‘alayhiwa salam dan Nabi Ibrahim ‘alayhis salam, akan tetapi telah datang pada syariat kita bahwa manusia mendapatkan manfaat dengan amal orang lain, maka keberadaanya itu telah di hapus, namun jawaban ini lemah, dan jawaban ulama sebelumnya itulah yang lebih rajih dalam tinjauanku. Wallahu A’lam. []
Sumber : Majmu’ Fatawa, Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah al-Fauzan [1/176-179]
===========================
Naah..!! setelah kita mengkaji penjelasannya baik dari para ulama mereka (wahaby) sendiri, bahwa menghadiahkan pahala kebaikan untuk mayit (tahlilan) adalah sampai..!!
KITA JADI BERTANYA-TANYA, MENGIKUTI SIAPAKAH WAHABY DI INDONESIA INI...???