Post

Sekilas Biografi Mbah KH. MOHAMMAD Ma’roef RA. (Pendiri Pondok Pesantren Kedunglo)

Ketinggian ilmunya diakui secara international, terbukti pada pendirian NU (Nahdatul Ulama) yang pertama, beliau terpilih menjadi Mustasyar NU bersama ulama bertaraf international lainnya. Di zamannya,
keampuhan doanya tak tertandingi.


Beliau adalah “Profesor Do’a” yang memiliki ribuan do’a untuk
segala macam kebutuhan. Serta memadukan antara bahasa Arab dan Jawa untuk do’anya. Dari bumi pilihannya Kedunglo, beliau telah berhasil melahirkan ulama-ulama keramat yang menyebar di pulau Jawa. Beliau juga memberi semangat para santri dan tentara dengan do’anya sehingga mereka selamat di medan pertempuran. Dan dari bumi Kedunglo pula, terlahir Shalawat ampuh, shalawat yang dibutuhkan seluruh ummat “Shalawat Wahidiyah”, buah taklifan putra beliau.

I. KH. MOHAMMAD Ma’roef RA ;
Masa Kecil Mbah KH. Mohammad Ma’roef RA. dilahirkan di
dusun Klampok Arum Desa Badal Ngadiluwih
Kabupaten Kediri pada tahun 1852. Beliau, berasal
dari keluarga yang taat beragama. Ayahnya, Mbah
Yahi Abdul Madjid adalah pendiri pondok Klampok
Arum selatan Masjid Badal dan seorang yang
sangat dihormati dan ditokohkan di daerahnya.
Konon ayahnya mempunyai kebiasaan tirakat
dengan hanya makan kunir saja. Mbah Yahi Madjid
menurut penuturan Mbah Yahi Ma’roef kepada
murid-muridnya mempunyai kesabaran yang luar
biasa. Ibunya yang ingin tahu bagaimana murahnya
si suami sampai-sampai membuatkan sayur tom
(sayur yang rasanya sangat pahit dan apabila
sayur tersebut digosokkan ke kambing yang
cacingan, seketika cacingnya mati) kemudian
dihaturkan kepada suaminya. Tapi dengan lahap
seolah merasa tidak kepahitan Mbah Yahi Madjid
malah tersenyum manis sembari berkata “Segar
sekali sayur buatanmu ini besok buatkan sayur
seperti ini lagi, ya?” Pintanya kepada istrinya.
Mbah Ma’roef RA. Merupakan putra kesembilan
dari sepuluh bersaudara. Tiga perempuan dan tujuh
laki-laki. Saudara-saudaranya itu adalah:
Nyahi Bul Kijah, KH. Muhajir, Kyai Ikrom, Kyai
Rohmat, Kyai Abdul Alim, Kyai Jamal, Nyahi
Muntaqin, Kyai Abdullah, KH. Moh. Ma’roef dan
Nyahi Suratun.
Mbah Ma’roef tidak lama merasakan kasih sayang
ibunya, sebab ibunya sudah wafat ketika beliau
masih kecil, sebagai gantinya, beliau mendapat
kasih sayang dari ayah dan saudara-saudaranya.
Akan tetapi tidak lama berselang, ayahnya juga
menyusul ibunya sowan kehadirat Allah. Setelah
itu Mbah Ma’roef diasuh oleh Mbah Yahi Bul Kijah,
mbak ayunya yang sulung.
Karena kondisi ekonomi mbak ayunya yang juga
pas-pasan, tak heran kalau di usia wajib belajar
beliau belum bersekolah. Mbah Ma’roef hanya
belajar mengaji Al Qur’an yang diajari sendiri oleh
mbak ayunya. Itupun mbak ayunya sering
mengeluh karena Mbah Ma’roef kecil belum bisa
apa yang telah diajarkan seakan tidak ada yang
nyantol di otak Mbah Ma’roef. Saking jengkelnya,
akhirnya mbak ayunya menyuruh adiknya agar
sering puasa Senin-Kamis. Saran tersebut
dilaksanakan oleh Mbah Ma’roef.
Tidak lama setelah menjalankan puasa Senin-
Kamis beliau bermimpi seekor ikan Mas meloncat
masuk kedalam mulutnya. Sejak saat itu beliau
langsung bisa membaca Al Qur’an sampai khatam.
Beliau kemudian menemui mbak ayunya. “Mbak,
aku sudah khatam al Qur’an.” Dilapori demikian
Mbah Nyahi Bul Kijah kaget dan tidak percaya.
“Kemarin saya ajari sulitnya minta ampun kok
sekarang sudah khatam Qur’an.” Mbah Ma’roef
kemudian berkata; “Kalau ndak percaya, akan saya
baca sampeyan yang nyimak.” Mbah Ma’roef
lantas membaca Al-Qur’an hingga khatam.
II. BELAJAR DENGAN TIRAKAT
Suatu ketika beliau dimarahi dan dipukul uleg-uleg
(alat untuk menghaluskan bumbu) oleh mbak
ayunya lalu beliau memutuskan menyusul kakak-
kakaknya yang terlebih dahulu mondok di Cepoko
Nganjuk dengan berjalan kaki.
Selama mondok di Cepoko keadaan beliau sangat
memprihatinkan. Konon, beliau hanya makan
seminggu sekali itupun makanan pemberian orang-
orang sekitar pondok yang setiap malam Jum’at
mengirim makanan ke pondok. Pada hari-hari
biasa, apabila beliau merasa lapar beliau hanya
makan intip(nasi hangus) yang masih melekat di
panci dan tidak dimakan oleh pemiliknya. Atau
makan buah Pace yang pohonnya beliau tanam
sendiri di lingkungan pondok. Pernah juga beliau
mengajak kakaknya mengemis ke desa-desa untuk
biaya mondok dan hidup selama di pondok. Beliau
juga pernah menjadi buruh panjat kelapa dengan
upah sebutir kelapa yang bagus. Bahkan oleh
pemilik pohon kelapa beliau diberi tanah dan oleh
Mbah Ma’roef tanah tersebut ditanami pohon
kelapa.
Untuk menghilangkan rasa lapar karena jarang
makan, beliau sampai menyumpahi perut dan
mulutnya setiap hari Jum’at di dekat blumbang
(kolam) buatan beliau sendiri. “Hai perut, jangan
minta makanan jika belum hari Jum’at tiba. Mulut,
jangan minta minum jika belum hari jum’at tiba,
beliaupun makan dan minum sepuasnya. Setelah
makan beliau juga menyumpahi duburnya, “Dubur,
jangan kenthut-kenthut jika belum hari Jum’at
tiba.”
Kondisi yang cukup memprihatinkan selama
nyantri membuat Mbah Ma’roef mempunyai
kebiasaan puasa dan munajat kepada Allah SWT.
Karena itulah Allah menganugrahkan beliau ilmu
laduni di bidang ilmu Fiqih yang bermula dari
mimpi beliau mengajar kitab Kuning di pondok.
Setelah kejadian mimpi tersebut, beliau yang sudah
mondok selama tujuh tahun dan baru kelas satu
tsanawiyah tiba-tiba bisa membaca kitab kuning
yang biasa diajarkan Kyai nya. Beliaupun lantas
sowan pada Kyai Muh gurunya, melaporkan bahwa
beliau mendapat ilmu laduni dan bisa membaca
kitab.
Kyai Muh kemudian mengumumkan kepada seluruh
santrinya kalau besok beliau tidak mengajar, yang
mengajar adalah Mbah Ma’roef dari Kediri.
Mendengar pengumuman tersebut seluruh santri
mengejek Mbah Ma’roef. Terutama santri senior
yang memang tidak senang dan merasa iri dengan
keberadaan Mbah Ma’roef di Cepoko. Sehingga
muncul komentar-komentar bernada miring.
“Mondok saja belum tamat, ndak bisa ngaji kok
mau ngajari ngaji.”
Keesokan harinya Mbah Ma’roef memukul
kentongan pertanda pelajaran akan dimulai. Tapi
karena para santri tahu kalau hari itu yang
menggantikan gurunya adalah Mbah Ma’roef, maka
hanya beberapa orang saja yang berkumpul di
masjid. Mbah ma’roef tidak peduli dengan ketidak
hadiran para santri senior yang alim-alim, beliau
tetap membuktikan kemampuannya mengajar kitab
yang biasa diajarkan oleh Kyai Muh kepada santri-
santrinya.
Ternyata benar, Mbah Ma’roef bisa mengajar
bahkan hafal isi kitab milik gurunya tersebut.
Tentu saja peristiwa ini menggemparkan seisi
pondok. Mbah Ma’roef santri miskin yang semula
diremehkan dan dibenci teman-temannya seketika
di sanjung dan dihormati. Bahkan katanya, Kyai
Muh gurunya akhirnya berbalik berguru pada
beliau. Sementara itu, para santri senior yang suka
mengejek Mbah Ma’roef saat itu juga
meninggalkan Pondok Cepoko.
Namun beliau tidak lama di Cepoko, kemudian
beliau melanjutkan mencari ilmu di Semarang pada
Kyai Sholeh, Ndarat. Genap dua tahun mondok di
Ndarat, beliau pindah nyantri pada Kyai Sholeh
Langitan Tuban.
Dalam perjalanannya menuju pesantren yang
beliau tempuh dengan jalan kaki tak jarang di
tengah jalan beliau dihadang para perampok.
Namun karena beliau punya ilmu penglimunan para
begal itu tidak bisa melihat Mbah Ma’roef yang
berlalu dihadapannya.
Genap setahun di Langitan, beliau pulang ke
rumahnya. Namun tidak lama beliau yang waktu itu
sudah memasuki usia 30 tahun langsung diambil
menantu oleh Kyai Shaleh Banjar Mlati di
peruntukkan putri sulungnya yaitu nyahi Hasanah.
Sekitar dua tahun saja Mbah Ma’roef menemani
istrinya, karena setelah putra pertama lahir, beliau
pergi ke Bangkalan untuk menimba ilmu pada Kyai
Khalil yang masyhur sebagai auliya keramat yang
dibiayai oleh Kyai Shaleh mertuanya yang terkenal
kaya raya.
III. BERGURU PADA KYAI KHALIL BANGKALAN
Setelah menyeberangi selat Madura dengan
berenang, ada yang mengatakan beliau tidak
berenang melainkan langsung berjalan di atas
selat Madura hingga tiba di daratan Madura. Beliau
langsung menuju Demangan pondok Kyai Khalil,
dan beliau sendiri yang menerima Mbah Ma’roef.
“Hai, anak Jawa, tampaknya kamu lapar, ini saya
beri makan harus dihabiskan.” Perintah Kyai Khalil
sembari menyerahkan nasi satu nampan besar
dengan lauk ikan bandeng sebesar betis orang
dewasa.
“Ya, Kyai,” jawab Mbah Ma’roef. Beliau pun mulai
makan yang porsinya untuk beberapa orang dengan
niat menyerap ilmunya Kyai Khalil. Selama Mbah
Ma’roef makan, Kyai Khalil terus mengawasi calon
muridnya dengan berdiri disamping Mbah Ma’roef
dengan tongkat di tangannya yang siap beliau
ayunkan apabila Mbah Ma’roef tidak
menghabiskan makanan yang telah beliau berikan.
Mbah Ma’roef yang telah terbiasa puasa dan
berlapar-lapar tentu saja merasa tidak mampu
menghabiskan nasi sebanyak itu. Namun karena
beliau mempunyai do’a yang membuat perut tidak
merasa kenyang walau sudah kemasukan makanan
berapapun banyaknya, yang beliau baca sebelum
makan. Alhasil, nasi senampan pemberian Kyai
Khalil dengan lahap dihabiskan tanpa sisa.
Mengetahui hal itu, Kyai Khalil seketika berkata,
“Ini orangnya yang akan menghabiskan ilmuku.”
IV. RIYADHAH DI MAKAM AULIYA MADURA
Riyadhah sudah menjadi bagian hidup Mbah
Ma’roef. Selama nyantri pada Kyai Khalil,
kegandrungannya dalam hal riyadhah semakin
menjadi-jadi. Selama nyantri di Bangkalan ini pula
beliau mempunyai kebiasaan baru yaitu berziarah
ke makam-makam keramat para auliya se-
Madura. Di makam tersebut, beliau bukan sekedar
ziarah biasa tetapi makamnya disowani dan
ditirakati sehingga beliau bisa berdialog langsung
dengan si penghuni makam. Tujuan beliau
riyadhah di makam-makam keramat tersebut tiada
lain karena beliau ingin memiliki ilmu “Sak
mlumahe bumi lan sak mengkurepe langit” yaitu
ingin memiliki ilmu seluas bumi dan langit tanpa
harus belajar. Artinya, beliau ingin mendapat ilmu
laduni.
Sudah demikian banyak makam keramat yang
beliau datangi, namun kesemuanya memberikan
jawaban kalau ingin alim harus belajar dulu.
Jawaban tersebut mengecewakan Mbah Ma’roef.
Lha wong ingin dapat ilmu tanpa harus belajar kok
disuruh belajar.
Terakhir, beliau riyadhah di makam yang berada di
Bujuk Sangkak. Sebagaimana yang sudah-sudah di
sana beliau juga tirakat hingga bisa ditemui oleh
penghuni makam.
“Hai, anak muda mengapa kamu tirakat di sini?”.
“Saya santri Bangkalan ingin jadi orang alim.
Do’akan saya agar diberi ilmu laduni.” Pinta Mbah
Ma’roef. Jawaban penghuni makam tersebut lain
dari pada yang lain.
“Bisa, kamu bisa mendapat ilmu laduni tapi
tirakatmu masih kurang.” Mbah Ma’roef langsung
menangis sedih dan putus asa. “Saya sudah tirakat
seperti ini kok ya masih kurang.” Dengan rasa
putus asa beliau kembali ke pondok dan terus
menangis. Kyai Khalil mengetahui apa yang
dirasakan muridnya kemudian beliau bertanya
kepada Mbah Ma’roef. “Ma’roef, sudah berminggu-
minggu kamu tidak berada di pondok, pergi
kemana saja kamu?” Tanya Kyai Khalil.
“Saya riyadhah di kuburan wali-wali, mereka
semua tidak bisa memberi saya ilmu laduni.
Terakhir saya riyadhah di Bujuk Sangkak, katanya
saya bisa mendapatkan ilmu laduni, tapi riyadhah
saya masih kurang. Riyadhah yang bagaimana lagi
yang mesti saya lakoni, padahal semua riyadhah
sudah saya jalankan.”
“Ada satu makam lagi yang belum kamu datangi
yakni makam Mbah Abu Syamsuddin di Batu
Ampar. Beliau wali besar. Semalam saya bertemu
Mbah abu Syamsuddin, beliau menyuruh saya
menulis di kuburannya. “Siapa yang bisa
mengkhatamkan al-Qur’an sekali duduk, apapun
keinginannya akan tercapai. “Mbah Ma’roef
langsung berangkat ke Batu Ampar dan
mengkhatamkan al-Qur’an dari Shubuh sampai
Ashar sekali duduk.
Selesai mengkhatamkan qur’an seketika datang
angin Lysus menerjang tubuh beliau. perasaan
beliau, saat itu kepalanya dipegang dan ditumpahi
nasi kuning hingga beliau muntah berak.
Sepulang riyadhah di makam Mbah Abu
Syamsuddin, segala kitab yang ada di pondok Kyai
Khalil beliau kuasai. Tercapailah sudah keinginan
Mbah Ma’roef untuk memiliki ilmu seluas bumi
dan langit tanpa harus belajar.
V. MENDIRIKAN PONDOK KEDUNGLO
Suatu ketika beliau disuruh mertuanya mencari
tanah untuk dijadikan pondok pesantren. Mbah
Ma’roef tidak menyia-nyiakan kesempatan
tersebut, beliau lantas tirakat sambil membaca
Shalawat Nariyah sebanyak 4444 kali. Akhirnya
beliau mendapat alamat, bahwa tanah yang cocok
untuk didirikan pondok adalah tanah yang berada
di sebelah barat sungai Brantas di antara dua
jembatan kembar.
Alamat tersebut lalu dihaturkan kepada mertua
berliau. Tetapi mertua dan semua orang kurang
setuju dengan tanah pilihan Mbah Ma’roef yang
dikenal sebagai tanah supit urang yaitu tanah yang
bewujud perairan semacam danau/rawa tidak
berupa daratan. Namun Mbah Ma’roef tetap pada
pendirianya memilih tanah tersebut dengan
mengungkapkan beberapa alasan yaitu Pondok ini
nanti akan memiliki beberapa keistimewaan,
pertama dekat pasar, kedua dekat sungai, ketiga
apabila ke timur sedikit kota. Maka alasan
tersebut diterima dan jadilah tanah tersebut dibeli.
Setelah tanah tersebut dibeli, maka didirikan
sebuah pondok pesantren pada tahun 1901 yang
bertempat di sebelah utara (kini lokasi Miladiyah).
Pondok tersebut diberi nama Kedinglo. Nama
Kedunglo berasal dari kondisi tanah yang waktu itu
berupa kedung semacam danau dan disana
terdapat pohon Lo yang besar.
Setelah beliau tinggal di Kedunglo maka berduyun-
duyunlah para santri ingin menimba ilmu pada
beliau. Namun karena beliau tidak suka memiliki
banyak santri, maka sebagian santri beliau
serahkan kepada Kyai Abdul Karim Lirboyo yang
saat itu baru mempunyai beberapa santri saja.
Ketika ditanya mengapa tidak suka mempunyai
banyak santri? Beliau menjawab.”Aku emoh
memelihara banyak santri. Disamping repot, kalau
punya banyak santri, pondok ini jadi kotor. Karena
itu saya mohon kepada Allah, agar santri saya
tidak lebih dari 50 orang. Kalau lebih dari lima
puluh, ada yang ndugal akhirnya pondok ini jadi
rusuh. Memang benar setelah diteliti santri beliau
tidak pernah lebih dari 40 orang. Kalau lebih dari
empat puluh orang pasti ada yang pulang.
Di pondok Kedunglo disamping sebagai pengasuh,
beliau adalah guru tunggal. Jadi beliau tidak
mempunyai guru pembantu yang mengajar santri-
santrinya. Karena santri-santrinya beliau tangani
sendiri, tak heran kalau sepulang mondok di
Kedunglo santri-santri beliau menjadi orang-orang
alim dan ampuh. Sedangkan santri beliau yang
menjadi orang besar antara lain : Mbah Yahi Dalhar
Watu Cengo Magelang, Kyai Manab Lirboyo(konon
meski sudah memiliki banyak santri masih ngaji di
Kedunglo), Kyai Musyafak Kaliwungu Kendal, Kyai
Dimyati Tremas, Kyai Bisri Mustof Rembang, Mbah
Yahi Mubasyir Mundir, Kyai Marzuqi Solo dan para
Kyai Kediri kesemuanya pernah nyantri pada Mbah
Ma’roef RA.
Karena beliau adalah seorang alim alamah dan
menguasai berbagai macam disiplin ilmu, maka
kitab-kitab yang diajarkan beliau adalah kitab-
kitab yang tinggi. Bahkan cara beliau mengajar
tidak sebagaimana guru-guru sekarang. Untuk
mengajar Syarah Al-fiyah saja disamping
menerangkan syarahnya beliau juga membahas
arudnya (balaghohnya), maka satu pelajaran yang
beliau bahas sudah termasuk atau meluas ke mata
pelajaran yang lain.
VI. BERORGANISASI
Pada tahun 1926, Mbah KH. Moh. Ma’roef RA mulai
menerjunkan diri dalam oragnisasi
kemasyarakatan karena diajak oleh sahabatnya
yaitu KH. Moh. Hasyim Asy’ari yang pada waktu itu
akan mendirikan Nahdhatul Ulama(NU). Maka
setelah NU berdiri sebagaimana yang tertulis di
Qonun Asasi (AD/ART) pendirian NU yang pertama,
Mbah ma’roef duduk di Mustasyar NU. Selain
Mbah Ma’roef ada pula nama Syekh Ghonaim Al-
Misri seorang ulama dari Al-Azhar Mesir yang juga
menjabat di Mustasyar. Sedangkan KH. Hasyim
Asy’ari sendiri pada waktu itu menjabat sebagai
Rais Akbar Syuriah NU.
Melihat kedudukan Mbah Ma’roef di organisasi NU
saat itu menunjukkan bahwa tingkat keilmuan
beliau bertaraf internasional. Karena hanya
beberapa ulama tertentu saja yang dapat
menduduki jabatan tersebut.
Sebagai penasihat di NU, beliau sering menghadiri
muktamar-muktamar NU yang diadakan didaerah-
daerah. Dan pada acara tersebut, beliau yang
sangat makbul do’anya, langsung didaulat untuk
memimpin do’a. Biasanya, jika para ulama NU
mengadakan Bahtsul Masail lalu menemui jalan
buntu, mereka sowan pada Mbah Ma’roef RA untuk
meminta petunjuk pada beliau. dalam hal ini beliau
hanya mengatakan, “Masalah itu ada di kitab
anu…”. Tanpa menjelaskan detail masalah.
VII. ISTRI-ISTRI DAN PUTRA-PUTRI BELIAU
Menurut riwayat, beliau mempunyai banyak istri,
ada yang mengatakan beliau mempunyai istri 22
orang, bahkan ada yang mengatakan lebih dari itu.
Kebiasaan beliau menikah ini konon karena beliau
kerap bepergian dalam waktu yang lama dan ingin
menebar bibit yang baik. Karena itu hampir setiap
daerah yang beliau singgahi, beliau
melangsungkan ijab qobul dengan gadis setempat.
Ada pula yang mengatakan kalau pernikahan beliau
melebihi ketentuan syariat hanya ijab saja, karena
orang tua si gadis ingin mengalap berkah pada
Mbah Ma’roef Allahu’alam.
Namun dari sekian istri-istri beliau yang diketahui
berjumlah lima orang dan yang dikaruniai putra
hanya tiga orang saja. Para istri dan putra-putri
beliau adalah : pertama nyahi Hasanah binti Shaleh
dari Banjar Mlati. Dari pernikahan ini beliau
dikaruniai sembilan putra yaitu: Nyahi Musthoinah,
KH. Moh. Yasin, Nyai Aminah, Nyahi Siti Saroh, Siti
Asiyah, Nyahi Romlah, KH. Abdul Madjid, Kyai
Ahmad Malik, Qomaruzzaman (wafat ketika masih
kecil). Istri kedua, Nyahi Maunah dari Klampok
Arum Badal mempunyai putri bernama Fatimah.
Istri ketiga, Nyahi Masyrifah dari Sanggrahan
mempunyai dua putra, yakni : Moh. Zainuddin
(wafat ketika masih kecil) dan Maimunah. Istri
keempat dan kelima tidak diketahui namanya
namun diketahui berasal dari Prambon Nganjuk
dan Gampeng Kediri. Riwayat lain mengatakan
beliau juga mempunyai istri dan keturunan di
Bangkalan Madura.
VIII. KEPRIBADIANNYA
Konon Mbah Yahi Ma’roef RA terkenal memiliki
temperamen yang keras, menurut Kyai Baidhawi,
temperamen Mbah Ma’roef menurun kepada
cucunya yaitu KH. Abdul Latif Madjid. Kalau Mbah
Ma’roef sedang marah pada seseorang ya marah
betul. Bahkan kalau beliau sedang marah dan
sempat mengeluarkan kata-kata celaka, maka
orang yang dimarahi akan celaka betul.
Temperamen yang keras barangkali disebabkan
karena sejak kecil beliau sudah yatim piatu dan
kurang kasih sayang dari orang tuanya. Apalagi
untuk bertahan hidup beliau harus bekerja keras
dibarengi tirakat. Sehingga dapat dipastikan beliau
lebih banyak puasa dari pada tidak.
Mbah Ma’roef Ra semasa hidupnya senang
bersilahturahmi. Karena itulah beliau sering
meninggalkan pondok Kedunglo untuk mengunjungi
sahabat-sahabatnya, murid-muridnya bahkan
orang-orang biasa dalam waktu yang lama.
Sifat-sifat yang lain, beliau adalah orang yang
terbuka. Segala peristiwa yang terjadi pada beliau
hampir semua diceritakan pada keluarga beliau
dan murid-murid kesayangannya mengetahui
perjalanan hidup gurunya dari yang sifatnya umum
sampai yang pribadi.
Kepada para santrinya, beliau sangat perhatian.
Karena itu seluruh santri-santri beliau, beliau
sendiri yang mendidiknya hingga si santri menjadi
orang. Kedekatan beliau dengan para santri tak
ubahnya seperti seorang ayah kepada anaknya.
Karena itu beliau sangat dihormati dan disayangi
oleh para santrinya.
Mbah Ma’roef juga dikenal sangat dermawan.
Dermawan dalam hal harta maupun do’a-do’a.
dapat dipastikan semua orang yang meminta harta
maupun do’a kepada beliau tidak pernah
ditolaknya. Pernah suatu ketika beliau memberi
ongkos kepada orang yang ingin pergi haji.
Padahal di waktu yang sama putra beliau Gus
Madjid berada dalam kemiskinan. Ketika ditanya,
mengapa uang untuk ongkos naik haji itu tidak
diberikan saja kepada putranya? Dengan penuh
makna beliau menjawab. Madjid itu anak shaleh.
Dia ditanggung langsung oleh Allah. Para tamu
yang kelaparan, beliau beri makan hingga kenyang.
Yang jelas, siapapun yang pernah hidup di
zamannya dan meminta tolong pada beliau
merasakan betapa beliau seorang yang sangat
perhatian pada sesamanya.
Meski beliau mempunyai ilmu seluas bumi dan
langit, serta terkenal doanya di-ijabahi seketika
dan beliau sendiri sangat sering
mendemontrasikan kekeramatannya, namun beliau
ternyata seorang yang sangat tawadhu dan
menjaga anak keturunannya agar juga memiliki
sifat tawadhu dalam arti tidak membangga-
banggakan keturunannya. Beliau pernah berkata
pada salah seorang santri kepercayaannya, “Aku
ini punya catatan silsilah keluargaku, namun
karena aku khawatir nanti anak turunku
membanggakan nasabnya, maka catatan itu aku
titipkan pada Kyai Abu Bakar (Bandar Kidul).”
Lalu bagaimana hubungan beliau dengan
keluarganya? Beliau dalan hal mendidik putra-
putrinya sangat keras dan disiplin. Karena itu
beliau menangani sendiri pendidikan putra-
putrinya. Beliau juga sangat menekankan kepada
putra-putrinya untuk senantiasa membaca
shalawat “Shallallahu ala muhammad”. Tak
terkecuali putra beliau yang baru bisa bicara dan
masih cendal juga diwajibkan membaca shalawat
sebanyak 100x. Bagi putranya yang sudah lancar
bicara harus membaca shalawat sebanyak 1000x,
dan sejumlah 10.000x bagi yang sudah baligh.
Karena mendapat bimbingan langsung dari Mbah
Ma’roef, tak pelak putra-putri beliau tumbuh
menjadi seorang yang cerdas, alim dan ampuh.
Utnuk mendekatkan hubungan batin antara ayah
dan anak juga cucu, beliau sering mendongengi
putra dan cucu-cucunya kisah-kisah teladan
sebelum tidur. Beliau juga mengajari mereka do’a-
do’a lain menjelang tidur. Namun setelah mbah
Nyahi Hasanah wafat dan Mbah Ma’roef menikah
lagi, seakan ada jarak antara ayah dan anak.
Konon putra dan putri beliau tidak berani mendekat
kalau tidak dipanggil. Mbah Ma’roef juga berpesan
kepada Mbah Ruba’i santri kesayangannya apabila
para putranya menginginkan sesuatu agar
disampaikan melalui Mbah Ruba’i. Maka kalau
putra beliau mau minta uang kepada beliau Mbah
Ruba’i lah yang diminta tolong agar menyampaikan
kepada ayahnya. Dan melalui Mbah Ruba’i itu pula
para putra mendapatkan uang. Hanya satu putra
beliau yang tidak pernah meminta tolong kepada
Mbah Ruba’i untuk meminta sesuatu kepada
ayahnya, yaitu Agus Abdul Madjid.
IX. PERGI HAJI BERSAMA ISTRI
Pada tahun 1918, Mbah Yahi Ma’roef RA
menunaikan ibadah haji yang kedua kalinya dengan
mengajak Mbah Nyahi Hasanah RA yang saat itu
sedang mengandung putra ketujuh. Karena naik
haji pada masa itu ditempuh dalam waktu setengah
tahun lebih, maka kelahiran putra lelaki yang
tampan dan sehat di tempat yang mulia dan
mubarokah disambutnya dengan penuh rasa syukur
dan bahagia. Maka Mbah Ma;roef lantas
memberikan nama bayi tersenut “Abdul Madjid”.
(sedangkan menurut penuturan Mbah Nyahi Romlah
Ma’roef. Mbah Yahi Madjid QS wa RA di lahirkan di
Kedunglo. Dan diajak ke Makkah saat beliau baru
berusia 1,5 tahun).
Setiap memasuki jam dua belas malam, Mbah
Ma’roef menggendong bayinya yang masih merah
ke Baitullah dibawah Talang Mas. Di sana, beliau
memanjatkan do’a agar bayi dalam gendongannya
kelak menjadi orang besar yang shaleh hatinya.
Selama berada di Makkah, Agus Madjid yang juga
di khitan disana akan diadopsi oleh salah satu
ulama Makkah. Akan tetapi Mbah Nyahi Hasanah
tidak mengizinkan sehingga Agus Madjid tetap
berada dalam asuhan kedua orang tuanya sendiri.
X. BERJUANG DENGAN KEAMPUHAN DO’A NYA
Sumbangsih Mbah Ma’roef kepada negara di
zaman perjuangan mengusir penjajah amatlah
besar. Hal ini beliau tunjukkan saat pertempuran
10 Nopember 1945 di Surabaya meledak. Bersama
Mayor Hizbullah Mahfud dan Kyai Hamzah (ayah
Mbah Nyahi Shafiyah RA) beliau turut ke medan
pertempuran walau berada di garis belakang
sebagai tukang do’anya. Berkat do’a Mbah
Ma’roef, tak jarang bom yang meledak berubah
menjadi butiran-butiran kacang hijau.
Sebagaimana pula diriwayatkan oleh murid-
muridnya yang juga turut berperang, para tentara
dan santri yang ikut berjuang kebal dengan
berbagai senjata setelah diasmai oleh Mbah
Ma’roef.
Cara beliau mengisi kekebalan pasukan tergolong
unik. Pertama setelah pasukan dibariskan, beliau
menyuruh mereka agar minum air jeding di utara
serambi Masjid. Selanjutnya beliau berdo’a yang
diamini oleh pasukan pejuang. Di antara do’anya,
“Allahumma salimna minal bom wal bunduq, wal
bedil wal martil, wa uddada hayatina”. Do’a beliau
yang kedengarannya nyeleneh ternyata sangat
manjur. Terbukti pada semua tentara yang sudah
beliau isi kebal aneka senjata.
Konon Gus Nawawi dari Jombang ketika bertempur
punggungnya terkena martil. Tapi beliau tidak apa-
apa malah punggungnya ngecap martil sebesar
ontong. Kyai Hamzah besannya sendiri yang juga
mengikuti pertempuran di Surabaya. Kabarnya kaki
–nya juga terkena bom tapi tidak apa-apa.
Kyai Bisri Mustofa (ayah Kyai Mustofa Bisri)
Rembang, di zaman itu pernah di kejar-kejar
penjajah Jepang. Beliau kemudian lari ke Kedunglo
minta perlindungan kepada Mbah Ma’roef.
Kemudian Mbah Ma’roef mengijazahi sebuah do’a,
setelah diamalkan beliau selamat dari incaran
orang Jepang. Berkat jasa Kyai Kedunglo,
beliaupun lalu mewasiatkan kepada anak cucunya
agar terus mengamalkan do’a pemberian Mbah
Ma’roef, doa tersebut oleh Kyai Bisri Musthafa
diabadikan dalam buku terjemah Burdah. Itulah
Mbah Ma’roef, memanfaatkan keampuhan do’anya
dalam mengusir penjajah dari bumi pertiwi.
XI. KEKERAMATANNYA
Berbicara mengenai kekeramatan Mbah Yahi
Ma’roef RA seakan tidak ada habisnya. Orang-
orang yang hidup sezaman dengan beliau dan
pernah bergaul dengan beliau dipastikan pernah
menyaksikan dan merasakan langsung
kekeramatan beliau. dan siapapun tidak akan
menyangkal bahwa kekeramatan beliau terletak
pada keampuhan do’anya yang di-ijabahi dalam
waktu sekejab, ucapannya “sabda pandhito ratu”
dan firasatnya tak pernah meleset.
Hebatnya lagi meski Mbah Yahi Ma’roef RA sudah
wafat tapi orang-orang sepeninggal beliau, yang
mujahadah di makam beliau juga turut pula
merasakan kekeramatan beliau. berikut ini adalah
sebagian kecil kekeramatan Mbah Yahi Ma’roef
RA:
Diriwayatkan oleh Ibu Nurul Ismah Madjid dari pak
Pardi dari Kyai Ridwan santri Mbah Ma’roef yang
berasal dari Pagu Kediri. Beliau bercerita, “Suatu
hari Mbah Ma’roef RA mengajak Kyai Ridwan ke
Dhoho. Kebetulan saat itu sungai Brantas banjir
hingga airnya meluap dan tidak ada rakit buat
menyeberang. Hendak berjalan lewat utara terlalu
jauh. Akhirnya Mbah Ma’roef berkata kepada
santrinya, “Yakh…terpaksa kita menyeberangi
sungai. Ridwan berdirilah dibelakangku dan
pegangi jubahku.” Kemudian keduanya berjalan
diatas permukaan sungai hingga tiba di tepi
sebelah timur. Ajaibnya meski kaki Mbah Ma’roef
menyentuh air tapi sama sekali tidak basah.
Sedangkan Kyai Ridwan hanya basah sampai mata
kaki.
Dikisahkan oleh Mbah Yusuf santri Mbah Ma’roef
dari Tawansari Tulung Agung (paman Mbah Nyahi
Shofiyah RA). Suatu hari datang seorang tamu
mengantar surat untuk Mbah Ma’roef RA.
Sepeninggal tamu tersebut, Mbah Ma;roef
membalas surat tersebut dengan menyuruh salah
satu santrinya agar menghanyutkan surat itu ke
sungai berantas. Mendapat perintah aneh si santri
berkata, “Lho kok dimasukkan ke sungai Kyai?”,
“Sudah kerjakan perintahku!” Meski tidak mengerti
si murid itu melaksanakan juga perintah Mbah
Ma’roef memasukkan surat ke dalam sungai.
Anehnya, begitu surat tersebut ditaruh di atas air,
surat itu berjalan diatas permukaan air. Lebih aneh
lagi surat itu berjalan melawan arus sungai.
Akhirnya surat tersebut tiba juga pada alamat yang
dituju dalam keadaan utuh tidak basah apalagi
rusak karena air.
Diriwayatkan dari Kyai Baidhawi. Dulu semasa
Mbah Ma’roef masih sugeng. Nabi Khidir sering
datang ke Kedunglo menjumpai Mbah Ma’roef, dan
kerap Nabi Khidir bermalam di panggung utara.
Diriwayatkan oleh Mbah Yahi Makhsun dari Mojo
Kediri. Mbah Makhsun adalah salah satu santri
Mbah Ma’roef RA, namun setelah Mbah Ma’roef
wafat beliau lalu nyantri ke pondok lain, ibunya
bingung ditinggal Mbah Makhsun. Mau disuruh
pulang, tetapi si ibu tidak tahu kemana perginya
sang putra. Akhirnya si ibu mujahadah dimakam
Mbah Ma’roef RA. “Mbah Ma’roef…..tolong,
kembalikan putra saya.“ Ratap si ibu di depan
makam. Sementara si ibu sedang meratap di depan
makam. Di pondok barunya, Mbah Makhsun
menerima sepucuk surat dari Kyai Ma’roef Kediri
yang isinya menyuruh Mbah Makhsun pulang.
Sontak para pengurus keheranan, lalu surat
tersebut dihaturkan kepada Kyainya. Barulah
mereka tahu, kalau ternyata Mbah Makhsun pernah
menjadi santri kesayangan Mbah Ma’roef ini
bukanlah orang sembarangan.
XII. WASIAT & DETIK-DETIK MENJELANG BELIAU
WAFAT
Pada hari-hari terakhir menjelang wafatnya, beliau
yang memiliki do’a-do’a ampuh untuk segala
macam urusan beliau tulis keseluruhannya di
papan tulis. Kemudian beliau menyuruh santrinya
untuk menulis do’a-do’a yang disukai. Dengan
senang hati para santri segera menulis do’a-do’a
tersebut lalu disowankan kepada gurunya. Do’a-
do’a pilihan yang sudah ditulis di kertas itu oleh
Mbah Ma’roef hanya ditiup saja. Beliau juga sering
berwasiat kepada tamunya yang sowan dan minta
petunjuk. Agar mengamalkan shalawat saja. Lebih
jelasnya beliau mengatakan kalau di Kedunglo
nanti akan lahir shalawat yang baik.
Wasiat serupa juga diwasiatkan kepada Mbah
Khomsah familinya saat minta restu akan
mengikuti ba’iat thariqah yang dihadiri oleh Kyai
Romli dari Nganjuk. Beliau dawuh, “Sah, jangan
ikut bai’at thariqah. Thariqah itu berat. Untuk orang
yang punya uang ndak kuat. Sepeninggalku nanti,
disini (Kedunglo) akan ada shalawat yang baik,
tunggulah kamu akan menjumpai shalawat itu.”
Terbukti, tujuh tahun setelah Mbah Ma’roef wafat
shalawat yang dinantikan yakni shalawat
Wahidiyah lahir. Maka seluruh keluarga Mbah
Khomsah langsung mengamalkan Shalawat
Wahidiyah.
Pada detik-detik menjelang wafatnya, Mbah
Ma’roef yang sudah berusia 103 tahun dan tidak
kuat naik ke masjid, tidak biasanya beliau
menyuruh murid-muridnya yang dari Mojo (Mbah
Makhsun, Mbah Ruba’i, Mbah Mahfud dan Mbah
Mukhsin) agar mengajar anak-anak kecil pakai
papan tulis. Padahal jangankan mengajar mau
sekolah saja empat sekawan tersebut oleh Mbah
Ma’roef tidak diperkenankan.
Dalam kepayahannya karena sakit, beliau masih
memikirkan pembangunan pondoknya dengan
menyuruh Mbah Makhsun dan Mbah Siyabudin
mencari uang untuk membangun pondok. Mbah
Makhsun dan Mbah Siyabudin ke Surabaya, Gresik
dan Malang melaksanakan perintah Mbah Ma’roef.
Ketika masih di Surabaya, Mbah Makhsun mimpi
ditemui Mbah Ma’roef yang menyuruhnya pulang
karena dimasakkan kepala Kambing.
Kelihatan sekali kalau sang pendiri pondok
Kedunglo sangat dermawan. Meski ajal akan
menjemput, beliau masih juga berpikir untuk
shodaqoh. Maka dengan tangan lemas lemah
lunglai beliau membuka-buka kasur dan bantal
mencari uangnya. Mbah Nyahi Romlah sang putri
melihat kelakuan aneh ayahnya sampai menegur,
“Pak, sakit-sakit kok mencari uang buat apa?”.
“Wo. Kamu ini bagaimana, ya buat shadaqah.”
Akhirnya, pada hari Rabu Wage ba’da Maghrib di
bulan Muharrom tahun 1375 H / 1955 M beliau
menghadap kehadirat Allah SWT dengan tenang.
Dan pada hari Kamis beliau dimakamkan di
sebelah barat Masjid